Annual Report

Tuesday 24 September 2013

Kisah Si Kecil Neni

By Dorian Druelle, UNICEF France

Neni (tengah) tersenyum bersama teman-teman sekelasnya karena ia sudah tidak pernah lagi terkena gejala diare
©UNICEF Indonesia/2013/Druelle

Neni adalah seorang anak perempuan berusia 10 tahun, namun ia terlihat seperti berusia 7 atau 8 tahun. Tubuhnya yang pendek dibandingkan anak-anak seusianya merujuk pada kondisi stunting (pendek menurut usia) akibat gizi buruk yang dialami oleh sebagian anak-anak balita di daerahnya dan sepertiga anak-anak di Indonesia. Namun bertentangan dengan kondisi fisiknya, Neni terlihat bersinar dengan senyumnya yang lebar dan mata yang memancarkan semangat.



Neni tinggal di Desa Taubneno, dekat Kota Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Provinsi yang lebih dikenal dengan sebutan NTT ini kondisinya kering dengan angin panas dari Australia sehingga musim kemaraunya panjang, lebih dari 8 bulan. Di sekitar Soe, tanah cenderung berbatu dan kurang subur, tidak banyak industri maupun pariwisata untuk menghasilkan pendapatan, dan banjir yang merusak jalanan dan panen pertanian makin sering terjadi - sebuah fenomena baru yang diperburuk oleh penebangan liar.

Saat kami bertemu Neni di SD Taubneno, ia bercerita bahwa ia sering sakit waktu kecil. Ia tidak bilang kalau ia sakit ‘diare’, ia hanya cerita bahwa ia dulu sering sakit perut, muntah-muntah dan bolak balik buang air besar. Dua tahun lalu, ia bahkan dirawat inap di rumah sakit karena kasus diare yang parah, sehingga tidak sekolah selama seminggu. Neneng, teman sekelas Neni, menjenguknya di klinik dan ingat betapa ia khawatir akan kondisi Neni. Dan tentunya kondisi stunting Neni berhubungan dengan diare yang berulang-ulang dideritanya.

Neni menceritakan bahwa ia belum lagi mengalami gejala diare selama beberapa bulan, dan kehidupan sehari-harinya terasa semakin cerah. Menurut Neni dan Neneng, perubahan ini berhubungan dengan kebiasaan baru mereka untuk mencuci tangan dengan sabun "sebelum makan, setelah bermain dan buang air".

Di sekolah, kini Neni bisa cuci tangan pakai sabun sebelum makan, setelah bermain dan buang air.
©UNICEF Indonesia/2013/Druelle

Guru di SD Taubneno juga mengkonfirmasi bahwa sejak UNICEF memberikan dukungan program air, sanitasi dan kebiasaan hidup bersih di sekolah tersebut dua tahun lalu, kebiasaan anak-anak sudah berubah. Mereka jadi jarang sakit sehingga kehadiran di sekolah meningkat. Melalui program ini, UNICEF membantu masyarakat untuk membangun toilet dan akses air bersih di sekolah, serta bekerja dengan dinas pendidikan dan guru untuk mengajarkan anak-anak pentingnya kebiasaan bersih seperti cuci tangan pakai sabun. Di provinsi di mana 1 dari 3 anak meninggal karena diare sebelum mencapai usia 5 tahun, cuci tangan dengan sabun sangat penting karena dapat menurunkan risiko diare hingga setengahnya.

Seiring dengan menurunnya kasus diare, guru-guru Neni berharap dukungan dari UNICEF terhadap masyarakat tetap berlanjut, terutama untuk meningkatkan fasilitas sanitasi di sekolah. Integrasi program air sanitasi dengan program lainnya seperti gizi dan pendidikan anak usia dini dan di sekolah telah terbukti dapat meningkatkan kesehatan anak-anak terutama yang tinggal di daerah terpencil. Untuk itu UNICEF dan para mitra kerja mengembangkan program berbasis masyarakat ini ke seluruh wilayah.

WC dengan air bersih di sekolah Neni, dibangun oleh masyarakat dengan dukung UNICEF, berkat sumbangan rutin dari donatur.
©UNICEF Indonesia/2013/Druelle

Jadilah Pendekar Anak, bantu UNICEF meningkatkan kehidupan anak-anak yang paling membutuhkan bantuan. Lebih dari 35.000 anak meninggal dunia di Indonesia karena sakit diare. Sumbangan rutin dari Pendekar Anak memberikan perubahan nyata bagi anak-anak seperti Neni.

Tiga sahabat, Neni (kanan), Alda (tengah) dan Neneng (kiri) mencuci tangan pakai sabun di SD Taubneno, Soe, NTT.
©UNICEF Indonesia/2013/Druelle