Annual Report

Wednesday 24 December 2014

Bagaimana kekacauan pasca-tsunami membantu Aceh menjadi pelopor perlindungan anak



 Jika seorang anak dituduh melakukan kejahatan, polisi akan mencoba untuk mengatasi situasi dengan menggunakan mediasi, dan hal ini berhasil bagi lebih dari setengah dari kasus yang terjadi. © UNICEF Indonesia/2014/Achmadi


BANDA ACEH, Oktober 2014 – Sekitar satu tahun yang lalu, tiga remaja ditangkap polisi di sebuah stadion olahraga di Banda Aceh karena memukuli seorang pria berusia 21 tahun. Dua di antara mereka berusia 17 tahun, dan satunya berusia 18 tahun. Di masa lalu, mereka pasti masuk penjara karena peristiwa tersebut, namun reformasi hukum yang dimulai setelah tsunami Samudera Hindia telah merubah ini.

Mereka ditahan selama 24 jam di unit anak kantor polisi, sementara keluarga dan kepala desa mereka dihubungi. Keluarga dan kepala desa diminta datang ke kantor polisi agar semua pihak bisa bertemu dan berunding.

Proses ini dikenal sebagai proses mediasi. Catatan polisi tidak menunjukkan berapa lama proses ini berlangsung dalam kasus mereka, namun petugas mengatakan rata-rata dibutuhkan tiga sesi mediasi untuk menyelesaikan suatu kasus.

Keluarga remaja tersebut membicarakan situasi yang terjadi, dan mencoba untuk mencapai kesepakatan tentang hukuman untuk para pelaku. Pada akhirnya, keluarga dari tiga anak laki-laki tersebut setuju untuk membayar biaya pengobatan korban dalam waktu sepuluh hari, atau menghadapi kasus pengadilan. Ketiga anak itu kemudian dilepaskan.

Sepuluh tahun yang lalu, polisi tidak memiliki mandat untuk memfasilitasi mediasi seperti ini. Pelaku anak-anak menghadapi percobaan dan hukuman penjara maksimal lima tahun. Mereka diperlakukan selayaknya orang dewasa ketika dituduh melakukan pelanggaran hukum atau kejahatan. Namun setelah tsunami melanda daerah itu pada tanggal 26 Desember 2004, Provinsi Aceh telah mengambil langkah besar dalam berurusan dengan anak-anak yang memiliki masalah hukum.


+++

Ajudan Komisaris Elfiana adalah salah satu yang pertama direkrut di unit perempuan dan anak-anak Polda Aceh. © UNICEF Indonesia/2014/Achmadi

Dalam kekacauan setelah tsunami, sekitar 3.000 anak-anak menjadi yatim piatu atau terpisah dari orang tua mereka. Tak lama kemudian, banyak berita yang beredar bahwa banyak dari mereka menjadi korban perdagangan manusia. Meskipun polisi sudah mulai membentuk sebuah unit khusus perempuan dan anak-anak, tsunami mempercepat terjadinya sebuah revolusi nyata yang membawa perubahan mendasar dalam seluruh proses peradilan yang berkaitan dengan anak-anak di Aceh.

Dengan bantuan dari UNICEF, polisi yang bekerja di unit baru ini dilatih bagaimana menangani anak-anak, baik sebagai korban kejahatan maupun sebagai tersangka.

"Saya diajarkan cara mewawancarai anak-anak agar tidak membangkitkan trauma yang mereka alami kembali," kata Elfiana, Ajudan Komisaris Besar Polisi Aceh, dan salah satu yang pertama direkrut di unit perempuan dan anak-anak pada tahun 2005. "Saya juga belajar bagaimana berempati dengan anak-anak untuk mendapatkan kepercayaan mereka."

Meskipun Elfiana bekerja di Banda Aceh, dia memiliki rekan di seluruh provinsi yang terlatih untuk menangani anak-anak. Dalam delapan bulan pertama tahun 2014, mereka telah berurusan dengan lebih dari 60 kasus yang melibatkan anak sebagai korban, dan 36 kasus yang melibatkan anak sebagai tersangka.

Kini, jika seorang anak dituduh melakukan kejahatan, polisi akan mencoba untuk mengatasi situasi dengan menggunakan mediasi, dan hal ini berhasil bagi lebih dari setengah dari kasus yang terjadi. Hanya kasus-kasus paling serius yang diangkat lebih lanjut, dan bahkan kemudian, kondisi untuk anak-anak pun telah membaik.



Ibu Djuwita telah berperan sebagai pembela puluhan anak-anak dalam beberapa tahun terakhir.  © UNICEF Indonesia/2014/Achmadi 

Anak-anak yang dituduh melakukan kejahatan serius kini harus diwakili oleh pengacara. Ibu Djuwita dari Kelompok Kerja Keadilan Restoratif telah berperan sebagai pembela puluhan anak-anak dalam beberapa tahun terakhir.

"Dalam kasus yang paling serius pun, anak-anak tidak lagi ditahan di sel kantor polisi untuk orang dewasa, dan mereka diperlakukan dengan perawatan dan pemahaman yang lebih baik oleh polisi," ucapnya.

Sangat jarang bagi seorang anak untuk harus membela diri di pengadilan.

"Proses persidangan adalah pilihan terakhir," ujar Ainal Mardiah, Kepala Pengadilan Negeri Jantho.

Kepala Pengadilan Negeri Jantho Ainal Mardiah di kantornya. Aceh telah menjadi perintis pada bidang pengadilan anak di Indonesia. © UNICEF Indonesia/2014/Achmadi 

Bagi anak-anak yang harus diadili, ruang sidang khusus ramah anak telah dibuat. Ruang ini biasanya lebih kecil dari ruang sidang dewasa. Semua perabotannya terbuat dengan sudut membulat, dan semua pihak duduk lebih dekat bersama-sama. Terkadang ada kartun atau poster di dinding, dan sang hakim pun mengenakan pakaian normal, bukan gaun merah dan hitam yang seperti biasa.

Provinsi Aceh telah menjadi perintis pada bidang peradilan anak di Indonesia. Keberhasilan dalam membuat ruang sidang yang lebih ramah anak membantu membuka jalan bagi pengenalan UU Sistem Peradilan Pidana Anak Nasional yang mulai berlaku pada 1 Agustus 2014, setelah upaya advokasi dari UNICEF selama bertahun-tahun.

Legislasi nasional ini mewajibkan aparat penegak hukum di seluruh negeri untuk mendapatkan pelatihan dalam menangani anak-anak. Undang-undang ini juga meningkatkan usia minimum pertanggungjawaban pidana dari 8 menjadi 12 tahun, dan usia minimum hukuman penahanan anak dari usia 12 menjadi 14 tahun.

Para pelopor peradilan anak di Aceh sangat senang melihat bagaimana daerah-daerah lain di Indonesia mengikuti jejak mereka.

"Saya merasa bertanggung jawab untuk memprioritaskan kepentingan terbaik anak," ucap Ainal Mardiah, seorang hakim Pengadilan Distrik. "Saya sangat senang dengan kemajuan yang telah kami capai."


Bagi anak-anak yang harus diadili, ruang sidang khusus ramah anak seperti ini telah dibuat agar mereka lebih merasa nyaman. © UNICEF Indonesia/2014/Achmadi