Annual Report

Tuesday 25 August 2015

Masa Kecil yang Tercuri: Pengantin Anak di Sulawesi Barat

Nick Baker, Communication and Knowledge Management Officer

"Saya lebih senang menjadi pelajar dari pada ibu," kata Sari*, sambil menggendong anaknya. ©UNICEF Indonesia/2015/Nick Baker.

Desa-desa kecil yang tak terhitung jumlahnya memagari garis pantai Pulau Sulawesi. Deretan rumah panggung (rumah tradisional) berjajar di antara pantai-pantai nan indah dan hutan hijau membentang. Laksana taman firdaus. Tetapi pemandangan Indah ini sesungguhnya menyimpan krisis tersembunyi.

Sulawesi Barat memiliki tingkat perkawinan usia anak yang cukup mengkhawatirkan. Provinsi ini memiliki prevalensi terbesar anak perempuan yang menikah pada usia 15 tahun atau lebih muda di Indonesia. Karena berbagai alasan, seperti budaya, agama, ekonomi, masa kecil anak-anak perempuan hilang di daerah ini setiap harinya.

Ayu* adalah salah satu dari anak-anak perempuan tersebut. Perempuan belasan tahun yang bertutur-kata lembut ini tinggal di sebuah desa pertanian sepi yang disebut Amara*. "Ibu dan nenek saya keduanya menikah pada usia 14 tahun," katanya. Tradisi keluarga berjalan terus: "Saya berusia 15 tahun ketika saya menikah dengan suami saya, Ganes, yang berusia 23 tahun."

Friday 14 August 2015

Perkawinan Anak Menjadi Perhatian Penting di AJI-UNICEF Media Awards 2015

Nick Baker, Communication and Knowledge Management Officer


Kepala Perwakilan UNICEF Indonesia Gunilla Olsson menyapa para wartawan di AJI-UNICEF Media Awards 2015 ©UNICEF Indonesia/2015/Nick Baker


JAKARTA, Indonesia, 13 Agustus 2015
– Prevalansi yang tinggi dan dampak negatif perkawinan usia anak di Indonesia menjadi fokus penting dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) and UNICEF Media Awards 2015 di Jakarta.

AJI-UNICEF Media Awards  diadakan setiap tahun sejak 2006 untuk menghargai keunggulan karya jurnalistik tentang isu hak-hak anak. Untuk tahun ini total 318 peserta mengirimkan cerita, foto, liputan TV dan radio.

Perkawinan usia anak dipilih menjadi fokus acara tahun ini. Hal ini relevan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak perubahan isi undang-undang pernikahan Indonesia yang sudah ada — memperbolehkan anak perempuan untuk menikah pada usia 16 tahun, sedangkan anak laki-laki pada usia 19 tahun. Keputusan ini telah membuka dialog nasional seputar perkawinan usia anak.

Thursday 13 August 2015

Mengenal Lebih Dekat Pendidikan Satap di Bondowoso


Program Satap adalah jenjang pendidikan SD-SMP dimana kegiatan belajar mengajar dilakukan dalam satu atap.

Oleh David Damanik, Telefundraiser UNICEF 


Manajemen Berbasis Sekolah dalam satu atap (Satap) merupakan program pemerintah yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang sudah dicanangkan sejak tahun 2005 dan merupakan program pemerintah dalam upaya mensukseskan wajib belajar 9 tahun.  Program satap adalah jenjang pendidikan SD-SMP dimana kegiatan belajar mengajar dilakukan dalam satu  atap ( lokasi ) dengan tujuan memberi kesempatan dan mempermudah anak – anak untuk mendapatkan pendidikan yang lebih layak sampai jenjang SMP.

Kesempatan kali ini saya akan berbagi kisah “field trip Unicef ke Bondowoso “dengan melihat langsung (observasi) salah satu program pendidikan yang sedang dilaksanakan Unicef yaitu Program Satap Bondowoso tgl 25-26 Mei 2015.

Tuesday 11 August 2015

UNICEF dan Pemerintah Indonesia Meluncurkan Kampanye Anti-Kekerasan, #PelindungAnak

Nick Baker, Communication and Knowledge Management Officer 


BOGOR, Indonesia, 11 Agustus 2015 – Bersamaan dengan puncak perayaan Hari Anak Nasional di Istana Bogor, UNICEF dan Pemerintah Indonesia meluncurkan kampanye inovatif baru untuk menghentikan kekerasan terhadap anak.

Kampanye Pelindung Anak mengajak semua masyarakat Indonesia — dari segala umur, lokasi dan profesi — untuk mendukung langkah nasional dalam mencegah perlakuan salah terhadap anak.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, memperkenalkan iklan layanan masyarakat Pelindung Anak kepada Presiden Joko Widodo, anggota kabinet dan ratusan anak-anak dari berbagai daerah dalam rangkaian acara puncak Hari Anak Nasional 2015 di Bogor.

Pesan Untuk Indonesia: Sudah Dong

Lauren Rumble, Kepala Perlindungan Anak UNICEF Indonesia


Salah satu bagian terbaik dari pekerjaan saya di UNICEF Indonesia adalah bekerja dengan anak muda Indonesia. Saya beruntung untuk bisa bertemu dengan pemuda-pemuda yang berdedikasi, kreatif dan inspiratif—banyak yang betul-betul membawa perubahan di dalam komunitas mereka sendiri.

Belum lama ini saya bertemu dengan tim Sudah Dong, sebuah organisasi nirlaba yang dijalankan oleh anak muda, untuk anak muda dan fokus pada banyak upaya menangani masalah bullying.

Sudah Dong bertujuan untuk memobilisasi aksi damai dan dukungan rekan sebaya dalam mengakhiri bullying. Pada bulan Juni, Sudah Dong merilis buku manual untuk anak dan remaja pertamanya dengan judul “End Bullying,” yang diharapkan dapat tersebar ke satu juta anak di seluruh nusantara. Dalam dua minggu, 625 buku telah diungguh (anda bisa ungguh buku manual di sini)

Dirilisnya buku manual ini tepat pada waktunya: Indonesia adalah negara dengan tingkat kekerasan fisik terhadap siswa yang tertinggi di dunia (40 persen). Lebih dari 50 persen siswa telah mengalami bullying di sekolah. Sekolah, wadah belajar dan perlindungan, untuk banyak siswa, adalah tempat paling aman yang mereka punya.

Wednesday 5 August 2015

U-Reporter Angkat Suara Untuk Kekerasan Terhadap Anak

Awis Mranani, UNICEF Indonesia Innovation Lab

Jutaan anak muda Indonesia adalah korban kekerasan. ©UNICEF Indonesia/2014

Hasil telah diterima. UNICEF baru saja menyelesaikan survei besar pertamanya menggunakan sistem pengumpulan suara U-Report Indonesia. Anak muda dari seluruh penjuru Indonesia menyampaikan pandangan mereka terhadap topik yang masih dianggap tabu, yaitu kekerasan terhadap anak.

Lebih dari 4,000 peserta, atau U-Reporter, berpartisipasi dalam survei berbasis Twitter ini. Pertanyaan yang dilayangkan terfokus pada strategi terdahulu pemerintah dalam menanggapi masalah kekerasan terhadap anak. Penemuan survei ini akan dipakai sebagai bahan masukan bagi pembaharuan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Anak (RAN PPKTA) untuk tahun 2015-2019.

Jawaban yang diberikan oleh pemuda Indonesia sangat penting. Mereka menegaskan bahwa pemerintah perlu menjalankan program-programnya secara lebih strategis lagi untuk menjaga keamanan anak-anak dari kekerasan. Hal ini bisa dilaksanakan melalui peningkatan kesadaran publik, kegiatan mendidik (terutama terkait undang-undang dan kebijakan) dan keterlibatan komunitas dalam topic terkait, terutama dari anak muda.

Secara kuantitatif, survei menyimpulkan bahwa selama tiga tahun terakhir, kebanyakan anak muda berumur 13-24 tahun yang telah menjadi korban kekerasan tidak menerima bimbingan terkait kekerasan dan 15 persen dari mereka tidak tahu kemana harus melaporkan kekerasan yang mereka saksikan atau alami sendiri.