Annual Report

Tuesday 11 August 2015

UNICEF dan Pemerintah Indonesia Meluncurkan Kampanye Anti-Kekerasan, #PelindungAnak

Nick Baker, Communication and Knowledge Management Officer 


BOGOR, Indonesia, 11 Agustus 2015 – Bersamaan dengan puncak perayaan Hari Anak Nasional di Istana Bogor, UNICEF dan Pemerintah Indonesia meluncurkan kampanye inovatif baru untuk menghentikan kekerasan terhadap anak.

Kampanye Pelindung Anak mengajak semua masyarakat Indonesia — dari segala umur, lokasi dan profesi — untuk mendukung langkah nasional dalam mencegah perlakuan salah terhadap anak.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, memperkenalkan iklan layanan masyarakat Pelindung Anak kepada Presiden Joko Widodo, anggota kabinet dan ratusan anak-anak dari berbagai daerah dalam rangkaian acara puncak Hari Anak Nasional 2015 di Bogor.


Presiden Joko Widodo (bawah) menyaksikan video Pelindung Anak di Istana Bogor. ©UNICEF Indonesia/2015/Nick Baker

Ibu Yohana menyoroti dekatnya kampanye ini dengan tema Hari Anak Nasional 2015 — ‘Wujudkan Lingkungan dan Keluarga Ramah Anak.’ “Dari banyaknya kasus kekerasan  terhadap anak, saat ini prevalansi tertinggi adalah perlakuan salah terhadap anak,” ujar Ibu Yohana. Beliau juga mengatakan bahwa kampanye ini menunjukkan sebuah langkah penting dalam menangani masalah kekerasan ini.

Isi dari Pelindung Anak, yang dikembangkan oleh agensi ternama Ogilvy&Mather Indonesia, akan ditampilkan di berbagai sarana. Termasuk televisi, iklan layanan masyarakat melalui radio, papan iklan dan media sosial.

Mitra seperti KOMPAS TV, Sindo Trijaya FM radio, perusahaan nasional Telkom dan Bank BCA mendukung kampanye ini dengan menyediakan ruang udara di berbagai sarana komunikasi mereka.

Masyarakat Indonesia diminta untuk mengunjungi web site kampanye Pelindung Anak dimana mereka bisa mendaftar sebagai pelindung anak dan berkomitmen untuk ikut serta di lingkungan mereka dalam mencegah kekerasan terhadap anak. Web site ini juga menyediakan banyak informasi penting terkait perlakuan salah terhadap anak dan masukan dari jaringan pemuda.

“Jika dibutuhkan satu desa untuk membesarkan seorang anak, maka dibutuhkan satu desa juga untuk melindungi seorang anak,” ujar Kepala Perwakilan UNICEF Indonesia Gunilla Olsson setelah acara. “Pelindung Anak akan mendorong masyarakat untuk membantu melindungi anak-anak mereka dengan membangun tradisi Indonesia yaitu gotong royong.”

“Jika melihat dukungan dari banyak pihak sejauh ini, kampanye ini sangatlah menjanjikan. Ini menunjukkan bahwa banyak masyarakat Indonesia yang mau membantu untuk membuat apa yang selama ini tidak terlihat, menjadi terlihat,” ujar Ibu Gunilla.


Foto dari iklan layanan masyarakat Pelindung Anak. ©UNICEF Indonesia/2015

Kekerasan terhadap anak terjadi secara luas di Indonesia. Menurut studi UNICEF Hidden in Plain Sight, yang menggunakan data global dari survei global berbasis sekolah Student Health Surveys, 40 persen anak berusia antara 13-15 tahun melaporkan mengalami serangan fisik sedikitnya satu kali dalam setahun.

“Berbicara tentang atau mengambil tindakan terhadap kekerasan pada anak di Indonesia bisa menjadi hal yang sulit jika isu itu dianggap tabu. Kampanye Pelindung Anak bertujuan untuk membahas hal tersebut – kami ingin membantu masyarakat untuk bekerja sama dan menghentikan kekerasan,” ujar Ibu Gunilla.

“Jika kita tidak melakukannya, konsekuensinya akan sangat berat. Anak korban kekerasan fisik, seksual dan emosional lebih berisiko melakukan kekerasan saat mereka dewasa. Hal ini mengakibatkan siklus kekerasan lintas generasi. Siklus ini harus dipatahkan. Perayaan Hari Anak Nasional tahun ini merupakan saat yang tepat untuk memulai diskusi ini.”

 Mengakhiri kekerasan terhadap anak tidak hanya membantu anak-anak Indonesia tetapi juga membantu perekonomian negara, karena kekerasan pada anak dapat memiliki konsekuensi kesehatan, sosial dan ekonomi seperti masalah kesehatan mental, meningkatnya risiko penyakit kronis dan pencapaian profesional yang lebih rendah saat dewasa. Analisis terkini yang dilakukan UNICEF berdasarkan data dari tahun 2014 menemukan kerugian dari perlakuan salah secara fisik, seksual dan emosional terhadap anak di kawasan Asia Timur dan Pasifik mencapai hamper US$200 juta (disesuaikan dengan nilai dolar pada 2012) atau hampir 2 persen dari pendapatan per kapita gabungan.