"Saat ini kita harus bergerak […] dari
konsumsi ke investasi: Investasi pada infrastruktur, investasi pada industri,
namun yang lebih penting lagi investasi pada sumber daya manusia, sumber daya
paling berharga di abad ke-21” President Joko Widodo[1]
Jika terlahir hari ini di pemukiman kumuh Bantar Gebang, Jakarta, Budi dapat
mencapai usia 5 tahun dengan sehat pada tahun 2020 dan menjadi murid sekolah
menengah atas yang berhasil pada tahun 2030. Grace, seorang anak perempuan di
pedalaman Papua yang berusia 13 tahun hari ini dan lulus sekolah menengah atas pada
tahun 2020, bisa memimpin sebuah perusahaan teknologi ramah lingkungan pada
tahun 2030, dan suatu saat akan menjadi pemimpin negara.
Ini bisa
menjadi masa depan banyak anak-anak di Indonesia sebegai negara yang sejahtera
dan berpenghasilan negara berpenghasilan tinggi di tahun 2030. Realita seperti ini akan melahirkan wiraswastawan,
dokter, insinyur, guru, CEO, pemimpin agama dan pekerja sosial di Indonesia.
Namun berdasarkan realita yang ada,
kemungkinan hal itu terwujud pada Budi dan Grace bisa sangat jauh berbeda dari
gambaran di atas. Keduanya terlahir dari orangtua yang miskin dengan peluang
yang rendah untuk keluar dari kemiskinan. Kemungkinan Budi meninggal sebelum
berusia 5 tahun adalah satu dibanding dua puluh lima. Ia memiliki risiko satu berbanding tiga untuk mengalami hambatan pertumbuhan (pendek atau stunting), kondisi yang suatu saat akan mempengaruhi
kapasitas otak, keahlian dan prospek penghasilannya di masa depan. Kemungkinan Grace
menikah sebelum usia 18 tahun adalah satu dibanding enam, yang kemudian akan
menyebabkan ia berhenti sekolah dan menjadi seorang ibu di masa remajanya. Terpaparnya
kedua anak tersebut dengan kemiskinan, malnutrisi, kesehatan yang buruk,
kualitas pendidikan yang rendah dan kekerasan akan berakibat pada buruknya pertumbuhan
tubuh dan otak mereka yang kemudian berdampak pula pada ekonomi Indonesia
sekarang dan di masa depan. Dalam konteks peningkatan ketidaksetaraan, semua
faktor-faktor ini meningkatkan risiko keterpinggiran mereka secara sosial dan
bisa mengancam stabilitas masyarakat Indonesia.
Masa
depan mana yang akan dimiliki Budi dan Grace akan tergantung dari kemampuan
Indonesia mentransformasi siklus kemiskinan menjadi lingkaran kemakmuran.
Tujuan ini bisa dicapai, namun membutuhkan perubahan pola pikir masyarakat
untuk bisa memandang anak-anak, termasuk hak dan kesejahteraan mereka, sebagai pondasi
dari kemajuan Indonesia. Hal ini membutuhkan investasi pada anak-anak yang
paling tertinggal di Indonesia sebagai satu upaya untuk pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan yang berkelanjutan menuju 2030.
Komitmen politik untuk berinvestasi di
masa depan untuk anak-anak yang lebih baik telah dinyatakan di Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Rencana ini juga terintegrasi
dengan sasaran-sasaran internasional baru untuk manusia dan bumi, yaitu Sasaran
Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable
Development Goals) atau SDG, dan
semua negara akan segera berkomitmen untuk mencapainya pada 2030. RPJMN juga mengandung
visi Presiden Jokowi untuk perubahan, yaitu Nawa Cita.
Dokumen ini menunjukkan bagaimana berinvestasi
pada anak-anak Indonesia dapat berkontribusi pada Nawa Cita dan menyajikan Sembilan
Pedoman untuk memastikan komitmen yang
ada akan membawa masa depan lebih baik bagi anak-anak di Indonesia. Pedoman ini memiliki ambisi
yang selaras dengan status Indonesia sebagai negara berpendapatan tinggi atas pada tahun 2030. Pedoman ini juga bahkan melebihi target-target SDG, dengan
membuat masyarakat yang paling termarjinalisasikan lebih terlihat sebagai
langkah awal untuk lebih inklusif. Harapan dari Pedoman ini selaras dengan aspirasi untuk mengangkat dan memastikan keberlanjutan
kesejahteraan nasional.
Saat ini Indonesia adalah salah satu dari
negara dengan pertumbuhan ekonomi yang terpesat. Sebagai negara dengan ekonomi
tertinggi nomor 16 di dunia, dan dengan tingkat ketidakstabilan ekonomi yang lebih
rendah jika dibandingkan dengan negara-negara terkaya lainnya, prospek
Indonesia saat ini cukup cerah. Namun, melihat bahwa Indonesia memiliki penduduk
tanpa fasilitas sanitasi di tingkat kedua tertinggi di dunia, dan sebagai
negara nomor lima tertinggi yang memiliki anak-anak yang mengalami, prospek
yang cerah ini bisa jadi tidak akan tercapai.
Agenda untuk anak dengan ambisi besar
memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk meningkatkan indikator ekonomi dan
sosialnya secara bersamaan sambil berkontribusi pada kemajuan di wilayah dan
secara global.
Ketika
para pemimpin dunia mengadopsi SDG secara formal pada Sidang Umum Persatuan
Bangsa-Bangsa (PBB) bulan September
2015, Indonesia bisa menjadi negara pertama yang rencana pembangunan
nasionalnya memasukkan target-target baru SDG, yang di dalamnya mengandung agenda yang tegas tentang anak-anak.
Ketika negara-negara ASEAN bergabung di
dalam Komunitas Ekonomi yang baru pada bulan Desember 2015, mereka akan
menghadapi situasi yang unik dalam merancang strategi nasional mereka untuk
mencapai SDG dalam konteks integrasi ekonomi yang lebih besar. Indonesia bisa
menjadi negara yang memimpin tidak hanya karena bobot ekonominya, besarnya
populasinya dan pengaruh populasi Muslimnya yang moderat, namun juga karena
kualitas dari indikator anak-anak, yang merupakan ukuran dari masyarakat yang
sejahtera.
Ketika dunia mengevaluasi progres dari SDG
pada tahun 2030, kemajuan yang dicapai Indonesia menjadi signifikan. Dengan
pertumbuhan populasi dan ekonominya, kemajuan di Indonesia akan menggerakkan
jarum di kawasan dan dunia. Dengan dilengkapi Pedoman untuk anak-anak yang
memiliki ambisi yang besar, jejak Indonesia akan berarti untuk kemajuan global
dan dapat menempatkannya sebagai pusat kekuatan
untuk perubahan, posisi yang dipegang oleh Cina dalam hal MDG.
Sembilan Pedoman untuk anak-
Indonesia:
1.
Kesejahteraan
harus dimulai dari “pinggiran” dan semua anak-anak harus diperhitungkan
Indonesia
memiliki tingkat kesenjangan dengan pertumbuhan yang termasuk tertinggi di
kawasan ini.[2]
Disparitas ini memiliki dimensi geografis. Seorang anak yang terlahir di daerah
pedesaan memiliki peluang dua kali lebih tinggi untuk menjadi pekerja anak
dibanding mereka yang terlahir di kawasan perkotaan. Penduduk di Tanah Papua
hanya 1 persen dari populasi nasional, namun memiliki prevalensi HIV/AIDS 15
kali lebih tinggi dari rata-rata nasional. Disparitas juga memiliki dimensi
ekonomi. Seorang anak berusia 13 tahun dari keluarga yang miskin empat kali
lipat lebih mungkin berhenti sekolah daripada anak yang berasal dari keluarga
berada.
Fakta
dari berbagai penjuru dunia menunjukkan dengan jelas bahwa tidak akan ada
pertumbuhan yang berkelanjutan kalau ketidaksetaraan tidak dikurangi.[3] Karena
itu, kebijakan yang tepat harus memprioritaskan dan mempercepat kemajuan bagi
anak-anak yang paling terpinggirkan serta orang muda di wilayah geografis dan
ekonomi pinggiran.
Orang-orang
yang paling tersisihkan dan terpinggirkan di batas terluar masyarakat
seringkali tidak terlihat karena mereka tidak diperhitungkan. Saat ini
sepertiga dari anak-anak Indonesia di bawah usia lima tahun tidak tercatat secara resmi oleh pemerintah.[4] Ini
membatasi akses mereka akan sekolah dan layanan kesehatan, serta
program-program sosial, dan membuat mereka tidak terlindungi dari praktik perkawinan
usia anak. Pada saat yang sama ini juga membuat mereka terus berada dalam
posisi yang tersisihkan dan terampas hak-haknya.
Pada
tahun 2030, semua anak-anak di Indonesia sudah harus diperhitungkan dan
kelahiran mereka dicatat oleh Catatan Sipil.
2.
Tidak ada anak yang boleh hidup dalam
kemiskinan di negara berpenghasilan menengah
Saat ini, 13,8 juta anak-anak Indonesia
hidup di bawah garis kemiskinan nasional yaitu Rp 300.000 per bulan. Ini setara
dengan tingkat kemiskinan yang ekstrim pada anak-anak yaitu 14,6%. Menurut
standard SDG, angka ini harus menjadi nol pada tahun 2030. Untuk menghapus
angka kemiskinan anak, Indonesia berfokus pada kelompok anak dan wilayah yang paling
tertinggal.
Kebanyakan negara menggunakan dua garis
kemiskinan untuk membedakan kemiskinan dari kemiskinan yang ekstrim. Indonesia
hanya menggunakan garis kemiskinan yang ekstrim. Mengurangi kemiskinan yang
ekstrim tidak cukup ambisius bagi negara berpenghasilan menengah. Dengan
menggandakan garis kemiskinan nasionalnya, Indonesia bisa memperluas ambisi
dari upaya pengentasan kemiskinannya. Mengacu pada standar seperti ini, satu
dari dua anak Indonesia masuk kategori miskin. Menetapkan target untuk mengurangi
setengah dari angka kemiskinan anak di bawah garis ini pada tahun 2030 tidak
hanya meningkatkan ambisi dari target tersebut, namun juga membuat Indonesia
menjadi satu dari segelintir negara yang memiliki sasaran pengurangan
kemiskinan anak yang lebih spesifik.
Cara untuk mencapai tujuan ini adalah
dengan menciptakan sistem pemberian uang tunai untuk pengasuh utama dari
anak-anak miskin dengan tanpa persyaratan. Afrika Selatan telah memulai sistem tersebut
pada tahun 1998, dan berhasil mengurangi kemiskinan anak sebesar 10% poin
selama 10 tahun setelahnya.[5]
Perubahan yang sama bisa terjadi di Indonesia. Tidak saja ini dapat memberikan
manfaat bagi anak-anak saat ini, namun juga bisa memberikan manfaat pada
anak-anak di masa depan, dengan memastikan investasi bagi sumber daya manusia
di generasi berikutnya.
3.
Tidak ada ibu yang meninggal ketika
melahirkan dan tidak ada anak yang mengalami hambatan pertumbuhan
Estimasi global angka kematian ibu di
Indonesia adalah 359 per 100.000 kelahiran, namun survei terbaru menunjukkan
angka yang lebih tinggi. Selain itu, 37% anak-anak mengalami hambatan
pertumbuhan (pendek atau stunting). Anak-anak di keluarga
termiskin memiliki risiko dua kali lipat lebih tinggi untuk mengalami hambatan
pertumbuhan daripada anak-anak yang lahir dari keluarga sejahtera. Mereka juga berisiko tiga kali lipat lebih
tinggi untuk meninggal sebelum ulang tahun mereka yang ke lima. Upaya mengatasi
kesenjangan ini harus terfokus pada kelompok kuantil termiskin dari masyarakat.
Hambatan pertumbuhan tubuh memiliki konsekuensi seumur hidup. Hambatan
pertumbuhan terhubung dengan performa yang buruk di sekolah, produktivitas dan pendapatan
yang lebih rendah, dan risiko berat badan yang berlebihan pada orang dewasa serta
penyakit-penyakit tidak menular yang disebabkan oleh gaya hidup.
Sesuai dengan SDG, Indonesia sudah harus
mengakhiri semua jenis malnutrisi dan kematian ibu yang bisa dihindari pada tahun
2030. Semua sasaran ini harus diperjelas lagi (misalnya, target angka untuk
angka kematian neonatal dan anak, dan berbagai langkah mengatasi malnutrisi)
untuk merefleksikan standar internasional dengan lebih tegas. Sasaran ini juga
harus merefleksikan meningkatnya prevalensi penyakit-penyakit yang tidak
menular di Indonesia dan di negara-negara berpenghasilan menengah lainnya,
termasuk penyakit-penyakit yang disebabkan oleh obesitas dan polusi udara.
Meningkatnya penyakit-penyakit menular dengan
pesat dan tingginya biaya perawatan membuat pusat-pusat pelayanan kesehatan
masyarakat menjadi terlalu mahal untuk masyarakat kebanyakan. Karena itu, tindakan
pencegahan dan pengurangan perilaku berisiko tinggi sejak muda menjadi lebih
penting lagi.
Solusi untuk mencapai ini membutuhkan
investasi yang besar dalam rangkaian perawatan dengan fokus pada 1000 hari
pertama seorang anak, serta upaya untuk menunda waktu melahirkan (yang mana
terhubung dengan meniadakan perkawinan usia anak). Sri Lanka menunjukkan bagaimana
investasi dalam sistem kesehatan dan kapasitas sumber daya manusia bisa
dilakukan.
4.
Tidak ada anak yang boleh hidup dalam
ketakutan di negara yang toleran dan damai ini
Anak-anak terjebak dalam siklus kekerasan
di Indonesia, di tempat mereka belajar, hidup dan bermain. Di sekolah, 36 juta
anak-anak mengalami kekerasan fisik oleh teman-teman mereka, dan 85% dari murid-murid
sekolah mengatakan telah mengalami hukuman fisik oleh guru mereka. Di rumah,
antara 11% dan 22% dari perempuan muda telah menjadi korban pemukulan,
pemerkosaan dan kekerasan emosional oleh pasangan mereka. Ini artinya dari 360.000
anak perempuan yang menikah setiap tahunnya, antara 30.000 dan 80.000 berisiko
menjadi korban kekerasan oleh pasangan mereka.
Anak-anak yang menyaksikan kekerasan yang dilakukan oleh orang tua
mereka di rumah memiliki kemungkinan lebih besar untuk melakukan kekerasan kepada
anak lain di sekolah, mengalami depresi, serta melakukan kekerasan terhadap
pasangan mereka ketika dewasa. Mereka juga memiliki peluang lebih besar untuk
berhenti sekolah, melakukan kejahatan dan dieksploitasi. Kerugian dari
kekerasan pada masak kanak-kanak di Asia Timur mencapai AS$194 milyar atau
sekitar 2% per tahun.[6]
Sesuai dengan SDG, Indonesia harus
mengurangi kekerasan terhadap anak pada tahun 2030 dan mengakhiri semua bentuk pekerja
anak dan praktik-praktik tradisional yang berbahaya seperti perkawinan usia anak
pada tahun 2025. Di luar target ini, Indonesia harus memikirkan langkah-langkah
khusus bagi anak-anak yang rawan menjadi korban kekerasan, seperti anak-anak
pekerja migran dan pengungsi, anak-anak yang tinggal di lembaga pengasuhan anak
dan anak-anak dari komunitas agama minoritas.
Kekerasan yang terjadi pada masa kecil
tidak hanya menjadi masalah legal namun juga masalah sosial. Prinsip
gotong-royong Indonesia, yang mengutamakan kebersamaaan masyarakat, bisa
menjadi sarana transformatif untuk mengakhiri kekerasan. Investasi harus
dilakukan untuk menciptakan program-program pengasuhan anak yang membantu orang
tua mengatasi tekanan dan mempraktikkan disiplin tanpa kekerasan di rumah. Di
Turkiy, satu proyek yang menyertakan para ibu berhasil mengurangi hukuman fisik
di rumah sebanyak 73%. Transfer tunai bagi keluarga-keluarga miskin,
program-program anti-bullying (anti kekerasan)
di sekolah dan tersedianya pekerja sosial terlatih yang lebih banyak juga
diketahui dapat mengurangi kekerasan.[7]
Pemimpin agama dan masyarakat, bersama orang
tua mereka juga harus bersama melaporkan kekerasan dan mendukung cara yang
damai.
5.
Semua
anak harus mendapatkan pendidikan anak usia dini dan pra-sekolah
Masa
anak-anak dan remaja merupakan dua jendela kesempatan yang kritis. Selama masa
anak-anak, pertumbuhan otak yang cepat membentuk kapasitas emosional dan
intelektual seseorang di masa depan. Selama masa remaja, stabilitas emosi,
batas-batas jati diri dan ekspektasi masyarakat sedang dalam masa pergolakan,
sebelum nantinya terkonsolidasi menjadi nilai-nilai, persepsi dan keahlian
seorang dewasa. Indonesia harus melakukan upaya untuk menyetarakan kesempatan
bagi setiap orang sejak mereka terlahir, dan ini harus dilakukan bersamaan
dengan program yang berfokus pada remaja. Investasi pada dua fase transisi dari
perkembangan manusia juga bisa membantu memanfaatkan potensi dari bonus
demografi Indonesia.
Indonesia harus memastikan setiap anak sudah
mendapatkan pendidikan usia dini dan satu tahun pra-sekolah yang dibiayai
pemerintah pada tahun 2030. Indonesia juga harus berinvestasi dalam populasi
remaja, dalam pendidikan dan keahlian mereka, untuk mengurangi potensi
bertumbuhnya remaja yang merasa terpinggirkan. Remaja harus dilibatkan dalam
membangun kebijakan dan memberikan pelayanan yang meningkatkan taraf hidup
mereka. Sasaran yang ambisius seperti ini adalah fundamental dalam
berkontribusi untuk Indonesia yang lebih cerdas, sehat dan sejahtera.
6.
Menguatkan
ketahanan
manusia dan
sistem
Indonesia
adalah salah satu negara yang paling rawan bencana alam, dengan seringnya
bencana banjir, longsor, angin kencang, dan kemarau, yang semuanya menjadi ancaman
yang lebih besar lagi dengan adanya perubahan iklim. Anak-anak, terutama yang
paling tidak beruntung, menjadi korban yang besar dari dampak bencana dan
krisis. Kebijakan dan investasi harus membantu anak-anak tumbuh dan berkembang
dengan mengurangi terpaparnya mereka akan dampak bencana, meminimalisir
konsekuensi dan membantu mereka bangkit dari krisis akibat bencana, sambil
memastikan sistem pendukung mereka juga dapat bangkit kembali dengan lebih
baik.
Pemberian layanan juga terhambat oleh
frekuensi dari bencana yang dihadapi suatu negara. Bahkan sistem pemberian
layanan yang paling efisien pun bisa gagal ketika krisis menghantam. Memperkuat
kapasitas dari sistem ini untuk bertahan serta kapasitas dari orang-orang yang
menjalankannya harus menjadi prioritas utama. Memasukkan cara berpikir yang
kritis, kemampuan menyelesaikan masalah, empati dan rasa percaya diri ke dalam
kurikulum pendidikan dan pelatihan pegawai pemerintahan akan meningkatkan
dimensi kemanusiaan dari ketahanan. Merancang jaringan pemberian layanan yang
mampu beradaptasi dalam krisis akan meningkatkan dimensi fisik dari ketahanan.
Ini akan membentuk suatu sistem perlindungan sosial yang memiliki kemampuan
untuk berkembang menjadi besar atau berkontraksi menjadi kecil, menyesuaikan
dengan skala dampak musim kemarau atau banjir misalnya; serta memiliki
kemampuan untuk melakukan pemberian uang tunai sementara bagi mereka yang
terkena dampak bencana.
7.
Peningkatan penggunaan seluruh ekosistem data untuk mendukung pemberian layanan dan memonitor
kemajuan
Indonesia
kaya akan data, mulai dari statistik yang didapatkan dari survei rumah tangga
hingga persepsi yang tercerminkan di sosial media. Namun masih ada kesenjangan
dalam isu-isu tertentu atau bagi populasi tertentu, seperti anak-anak difabel.
Kesenjangan ini harus ditiadakan. Kualitas dari data yang didapatkan dari,
misalnya, survei rumah tangga harusnya juga diperbaiki untuk meningkatkan
validitasnya dalam standar kawasan dan internasional.
Memastikan
bahwa data dan revolusi data memberikan manfaat bagi anak-anak termasuk membuat
data transparan, mudah didapatkan dan lebih merangkul semua yang selama ini
belum terwakili. Ini dilakukan dengan menggunakan inovasi yang memungkinkan
aliran data yang lebih cepat, dengan menggunakan sumber-sumber data baru dan
memastikan data ini memberi masukan pada kebijakan.
Dua ide untuk
mengeksplorasi hal ini lebih lanjut:
Menggunakan data yang ada untuk memberikan
informasi lebih baik kepada kebijakan dan pemberian layanan. Ada banyak
informasi tentang anak-anak yang terkandung dalam ratusan dokumen yang dibuat
untuk memandu dan melaporkan rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan nasional
dan daerahl. Mengkaji manfaat dengan menganalisa naskah, termasuk memproses
bahasa natural dan pemetaan semantik, dari naskah-naskah yang luar biasa
banyaknya ini dapat memberikan pemerintah basis informasi yang lebih baik untuk
menginformasi kebijakan dan operasionalnya. Hal ini juga dapat membantu
mengatasi beberapa hambatan yang disebabkan oleh sistem yang sangat
terdesentralisasi.
Gabungkan data dan perangkat analisa untuk meningkatkan
efisiensi. Pendekatan-pendekatan baru untuk mengumpulkan dan
menganalisa data dapat mengurangi pengeluaran pada program-program yang tidak
terlalu berhasil – dan memfokuskan sumber daya pada program-program yang
mendatangkan hasil. Ini juga dapat meningkatkan frekuensi dari data (misalnya,
data persepsi yang dikumpulkan lewat telepon genggam) yang digunakan untuk
mengamati kemajuan dari sasaran nasional dan internasional. Indonesia harus
mengeksplorasi inovasi yang memungkinkan lewat seluruh spektrum data lewat
metode data yang kuat seperti survei rumah tangga untuk mengawasi hambatan dan
masukan/partisipasi orang muda secara real
time (waktu seketika), dan dengan menggunakan analisa data besar atau “big data analytics” untuk mendapatkan
pengetahuan yang baru.
8.
Menginstitusionalisasi keterlibatan orang
muda untuk membawa perubahan lewat akuntabilitas sosial
Indonesia memiliki salah satu dari profil
populasi termuda di dunia. Melibatkan orang muda dalam kebijakan publik bisa menjadi
pertahanan yang terbaik agar mereka tidak merasa tersingkirkan dan
terdiskoneksi dari debat publik. Melibatkan mereka sedini dan sesering mungkin
akan membuat warga menjadi lebih aktif.
Dengan memulai dari sarana orang muda yang
ada, menguatkan keterlibatan anak-anak dan orang muda di berbagai daerah di
Indonesia dapat membentuk infrastruktur sosial. Ini adalah ilustrasi konkrit
untuk membangun sistem dari sekeliling: memberdayakan orang yang secara
tradisional tidak memiliki suara dalam kebijakan yang memengaruhi hidup mereka.
Sarana tersebut dapat menjadikan orang muda kekuatan yang diperhitungkan oleh
pembuat keputusan. Perangkat ICT dapat memfasilitasi keterlibatan tersebut,
tapi hanya untuk memulai. Pembuat kebijakan perlu membangun kapasitas dan
menerima dan mengamati langkah dari masukan orang muda.
Dua ide untuk dieksplorasi lebih jauh:
Membangun
infrastruktur digital dari orang muda untuk orang muda. Dengan menggunakan teknologi selular dan
menggunakan kemitraan dari gerakan pemuda, sebuah platform yang luas dari perkumpulan dan pergerakan orang muda bisa
diciptakan untuk menangkap suara dan ide-ide mereka tentang apa yang efektif,
di mana dan kenapa. Ini juga bisa digunakan oleh orang muda untuk mengawasi
kemajuan dari sasaran nasional dan internasional yang berarti bagi mereka.
Memanfaatkan
media sosial. Dengan penggunaan media sosial yang
sangat tinggi di Indonesia, dialog lewat media sosial dapat merangkul lebih
banyak suara. Kita tahu bahwa pendekatan ini tidak dapat melibatkan semua
orang, namun kita juga tahu bahwa tidak menggunakan sarana ini juga membuat
sebagian orang tidak terlibat. Memahami bahwa media sosial adalah komunikasi
dua arah dapat membantu menguatkan hubungan pemerintah dengan anak-anak dan
orang muda.
9.
Memanfaatkan investasi swasta untuk
anak-anak
Indonesia adalah salah satu negara dengan
pengeluaran untuk kesehatan publik yang terendah di dunia (1,2% dari PDB).
Alokasi dana seharusnya menyamai tingkat yang ditargetkan untuk menguatkan
sumber daya manusia. Banyak pilihan tersedia untuk meningkatkan investasi
publik di bidang layanan sosial, mulai dari meningkatkan pajak tembakau sampai
mengurangi subsidi bahan bakar fosil.[8]
Bisnis dan investor harus bisa dirangkul
untuk berkontribusi pada masa depan Indonesia untuk kepentingan mereka sendiri.
Bisnis akan memerlukan tenaga kerja yang sehat dan memiliki keahlian, dan ini
dapat dipenuhi jika ada investasi dini pada pendidikan dan kesehatan. Investor
akan membutuhkan konsumen. Bisnis yang lebih bertanggungjawab secara sosial dan
investor yang berdampak dapat menggerakan jarum ke arah investasi yang lebih
pro-anak sambil mengubah pola pikir dari kebanyakan pekerja dan konsumen.
Dua ide untuk dieksplorasi lebih lanjut:
Mempromosikan hak-hak anak dan prinsip
bisnis dalam
keseluruhan ekonomi Indonesia (investasi dan transaksi) dari badan-badan
penilaian risiko dan kredit hingga kendaraan investasi negara dan dana pensiun.
Mempromosikan prinsip-prinsip ini dalam jaringan pengamanan sosial yang harus
menyertai investasi pada infrastruktur yang terus bertumbuh akan memberi dampak
yang besar. Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah menunjuk
perusahan-perusahan untuk menjadi pemimpin di sektor swasta dalam mengedepankan
hak-hak anak dalam industri mereka, di ruang rapat dan dalam laporan mereka.
Pemerintah juga harus memimpin dengan memberi contoh dan mengintegrasikan
prinsip-prinsip ramah anak dalam investasi dan pengadaan yang dilakukan.
Memanfaatkan pendanaan Syariah dan zakat. Bertumbuhnya pasar Sukuk dan “investasi berdampak” dapat
menjadi aset besar bagi anak-anak Indonesia. Prinsip-prinsip yang mendasari
investasi berdampak sosial selaras dengan prinsip-prinsip syariah dalam sistem
keuangan Islam. Jadi satu instrumen bisa digunakan untuk menguatkan yang lain.
Untuk mendemonstrasikan potensi ini dan menjadi pelopor dalam kawasan yang
belum terpetakan ini, Pemerintah Indonesia dapat mengujicoba Sukuk berdampak ke anak. Bersamaan
dengan ini, insentif juga harus diberikan untuk mengalirkan dana zakat ke
investasi yang berfokus pada anak.
Jika diterapkan, Sembilan Pedoman untuk anak ini dapat memberi manfaat pada
Budi dan Grace dan anak-anak lain di Indonesia. Pedoman ini juga akan memberikan
manfaat pada anak-anak mereka, serta anak-anak lain di dunia, jika Indonesia mengedepannya
inisiatifnya di negara lain. SDG sifatnya universal: semua negara harus menerjemahkan
dan merancang sesuai dengan realita di negara mereka. Indonesia harus
menggunakan Sembilan Pedoman ini untuk menunjukkan bagaimana ini bisa dilakukan
dan membangun bentuk pemberian layanan SDG yang bermanfaat bagi anak-anak di
masa ini, maupun di masa mendatang.
[1] Pidato
pembukaan oleh President Indonesia pada World Economic Forum 2015. Dapat
diakses di: https://www.youtube.com/watch?v=0PETHFfo4L4
[2]
The World Bank Group. 2014. Indonesia: Avoiding the trap. Development Policy Review, 2014. Dapat diakses di: http://www.worldbank.org/content/dam/Worldbank/document/EAP/Indonesia/Indonesia-development-policy-review-2014-english.pdf
[3]
UNICEF. 2015. A Fair Chance for Every
Child. Dapat diakses di:
http://www.unicef.org/about/execboard/files/A_fair_chance_for_every_child-22May2015.pdf
[4] Menurut survey nasional rumah tangga
2013, Susenas, hanya sekitar 60% anak-anak usia 0-5 tahun memiliki akte
kelahiran.
[5] Departemen Pembangunan Sosial,
Republik Afrika Selatan. 2011. Impact
evaluation of the Child Support Grant in South Africa. Pretoria, 19 July
2011. Presentasi Power Point.
[6]
Fang, X., Fry, D.A.,
Brown, D.S., Mercy, J.A., Dunne, M.P., Butchart, A.R., Corso, P.S., Maynzyuk,
K., Dzhygyr, Y., Chen, Y., McCoy, A., & Swales, D.M. The burden of
child maltreatment in the East Asia and Pacific region. Child Abuse & Neglect, 42, 146-162.
[7] Untuk
informasi lebih lanjut tentang bagaimana intervensi berbasis bukti dapat
mengurangi kekerasan terhadap anak, silahkan dilihat contoh-contohnya di http://www.withoutviolence.org/solutions/