Annual Report

Tuesday 10 January 2017

Ayo Kembali ke Sekolah di Pidie Jaya

Oleh Cory Rogers, Communication Officer





Para siswa kelas 2 belajar di tenda pendidikan yang didirikan beberapa hari setelah gempa berkekuatan 6,5m terjadi di tiga kabupaten, yang menewaskan ratusan orang dan mengakibatkan ribuan orang terlantar di kawasan barat laut Provinsi Aceh © UNICEF Indonesia / 2017 / Cory Rogers.


Pidie Jaya, Aceh:
Mula-mula terjadi retakan di dekat pintu, kemudian dinding belakang terbelah melalui ubin berdebu, yang berjarak kira-kira enam atau tujuh meter.

Mengingat reruntuhan yang jaraknya sangat dekat – dimana rumah-rumah hancur, sekolah-sekolah tinggal tumpukan puing – kejadian tersebut, yang digambarkan oleh guru di MIN Pangwa sebagai kerusakan terparah oleh gempa, tampaknya dianggap sebagai hal yang tidak penting.


Tetapi bagi Rajwa, 10 tahun, siswa kelas lima, kejadian tersebut merupakan semacam pemicu - pengingat yang menakutkan tentang peristiwa yang menewaskan dua teman sekelasnya dan mengakibatkan keluarganya meninggalkan rumah mereka selama beberapa minggu.
Rajwa di luar MIN Pangwa © UNICEF Indonesia / 2017/ Cory Roger
"Saya tidak ingin gempa terjadi lagi," kata Rajwa. "Saya tidak ingin melihat kejadian itu, saya tidak ingin masuk ke sana."

Berkat bantuan tenda yang diberikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tanggal 27 Desember, kini Rajwa tidak perlu merasa takut.

Seperti siswa-siswa di hampir 200 sekolah di tiga kabupaten yang terkena dampak, Rajwa akan menggunakan tenda tersebut sebagai ruang belajar sambil menanti perbaikan ruang kelasnya. Kegiatan ini merupakan inisiatif pemulihan dengan keyakinan bahwa pada saat terjadi bencana, pendidikan menjadi semakin penting.

 Seorang guru membantu anak di salah satu tenda yang diberikan oleh BNPB sehingga para siswa dapat terus belajar karena kelas mereka yang rusak sedang diperbaiki. © UNICEF Indonesia / 2017 / Cory Rogers 

 "Anak-anak tidak membutuhkan pendidikan bahkan dalam keadaan darurat. Mereka membutuhkan pendidikan khususnya dalam keadaan darurat, '' kata Executive Director UNICEF Anthony Lake. Penelitian menunjukkan bahwa pada saat krisis, sekolah memberikan struktur dan kegiatan rutin untuk membantu anak-anak mengatasi rasa takut, kehilangan atau stres.

Berdasarkan pandangan seperti ini, Pemerintah – melalui kemitraan dengan berbagai organisasi, termasuk UNICEF - telah mencanangkan kampaye "Ayo Kembali Ke Sekolah", yang berupaya untuk mencapai kehadiran siswa secara penuh di sekolah pada awal Januari. Di MIN Pangwa, para guru menyatakan bahwa kehadiran siswa telah mencapai kira-kira 70 persen.   

Akan tetapi, sepanjang jalan di SDN Peulandok Tunong, para guru mengatakan bahwa para siswa telah hadir selama beberapa minggu.

"Semua kecuali dua dari 93 siswa kembali ke sekolah hari ini," kata Ibu Wardiah, wakil kepala sekolah SDN Peulandok Tunong. Sekelompok siswa kelas dua berlatih membaca jam yang ada di belakangnya, pada pelajaran terakhir mereka hari itu.

Terletak tiga kilometer di sepanjang jalan yang sempit dengan pinggiran pohon-pohon padi, SDN Peulandok Tunong roboh pada saat terjadi gempa. Sekolah ini merupakan salah satu sekolah yang pertama menerima tenda pada tanggal 11 Desember dari Kementerian Pendidikan. Setelah itu, tenda kedua didirikan oleh BNPB sebagai tempat untuk kegiatan-kegiatan belajar.   

Ibu Wardiah, (paling kiri) dan sesama guru SDN Peulandok Tunong berkumpul di luar tenda yang diberikan oleh UNICEF kepada Kementerian Pendidikan. Sekolah mereka merupakan sekolah pertama untuk berkumpul kembali pada hari-hari awal setelah gempa. © UNICEF Indonesia / 2017 / Cory Rogers  

Kelompok guru sekolah ini melihat bahwa tenda-tenda tersebut merupakan kunci untuk membantu memulihkan anak-anak, sehingga mereka mencoba untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan dan permainan-permainan dengan bantuan LSM setempat. Pada suatu sore yang mengesankan, para relawan datang untuk mengajar lagu kepada anak-anak tentang menyelamatkan diri dari gempa, sebuah lagu yang kini mereka hafal.

"Ini desa saya, dan ini anak-anak saya," kata Ibu Wardiah, yang telah mengajar di sekolah tersebut selama lebih dari 30 tahun. "Kami tidak tahu apakah sekolah-sekolah lain juga seperti ini, tetapi kami tahu bahwa sekolah kami seperti ini," katanya dengan bangga.

Baru pada tanggal 2 Januari para guru mulai menggunakan kurikulum resmi, "karena pada akhirnya, membaca, menghitung dan menulis merupakan hal-hal sangat penting yang harus kami ajarkan kepada anak-anak kami," jelas Ibu Wardiah.

Di lokasi-lokasi dimana sekolah mengalami kerusakan dan belum diperbaiki, bangunan-bangunan semi permanen seperti bangunan ini di SDN Peulandok Tunong sedang dibangun oleh kontraktor pemerintah untuk mengganti tenda. Ruang kelas yang bersifat sementara ini akan memungkinkan anak-anak untuk belajar dalam lingkungan yang lebih aman dan nyaman sementara mereka menunggu pembangunan fasilitas permanen mereka © UNICEF Indonesia / 2017 / Cory Rogers.

Menurut Kepala Dinas Dinas Pendidikan Pidie Jaya, Pak Saiful, sekolah-sekolah lain telah berupaya untuk meniru keberhasilan SDN Peulandok Tunong dalam kehadiran siswa, sebagian karena orang tua masih khawatir tentang keselamatan. Hal ini tidak mereka lupakan. Beliau mengatakan bahwa sekolah mengalami beberapa kerusakan paling parah.


"Kami harus memastikan bahwa sekolah-sekolah baru tahan gempa," katanya. Ia menyalahkan desain dan konstruksi yang buruk. "Hal seperti ini tidak boleh terjadi lagi."


Konstruksi yang buruk mengakibatkan kerusakan seperti ini di SDN Peulandok Tunong, terlihat di sini hanya beberapa hari setelah gempa. © UNICEF Indonesia / 2017 / Yusra Tebe  

Menurut Programme Assistant UNICEF Indonesia, Said Ikram, "Di Aceh, mereka masih beruntung karena gempa besar terjadi sebelum anak-anak tiba di sekolah dan setelah mereka pulang. Gempa ini telah membuka mata orang-orang di Pidie Jaya untuk membangun sekolah-sekolah yang lebih aman."

Dengan bantuan UNICEF, pihak yang berwenang masih menentukan berapa banyak sekolah yang harus dibangun kembali. Sementara itu, pemberian tenda dan pembangunan raung kelas semi permanen akan tetap menjadi prioritas utama Pak Saiful.

"Kami masih memerlukan 37 tenda [pada tanggal 3 Januari]," katanya. "Fokus saya bulan ini adalah mengupayakan sebanyak mungkin siswa untuk kembali ke sekolah sehingga mereka tidak ketinggalan ujian nasional," katanya. Ujian tersebut, yang dijadwalkan pada musim semi, akan menentukan apakah siswa dapat naik ke kelas berikutnya.

Terlepas dari pentingnya ujian tersebut, guru-guru di MIN Pangwa mengatakan bahwa sangat penting untuk mengupayakan para siswa kembali pada keadaan normal dengan langkah mereka sendiri.

"Misalnya, kami biasanya mengijinkan siswa pulang pukul 12 siang, tetapi hari ini mari kita lihat apa yang terjadi," kata salah satu guru yang tidak mau disebutkan namanya. "Banyak anak masih mengalami trauma, sehingga sangat penting bagi kami untuk tidak memaksa mereka. Kami tetap fleksibel," tambahnya.

Sementara itu, Rajwa mengatakan bahwa ia sangat bersemangat untuk mulai belajar lagi, terlepas dari adanya kejadian yang menakutkan. Ia bercita-cita ingin menjadi seorang tentara Angkatan Darat, dan ia mengatakan bahwa sekolah akan membantunya untuk mewujudkan cita-citanya.

"Kami sudah lama berada di luar sekolah," katanya, dengan mata berkedip memandang ke tanah yang ada di depannya. "Kadang-kadang saya masih merasa takut, tetapi kedatangan ke sini membuat saya senang."   
Siswa-siswa MIN Pangwa antri untuk membeli sosis daging sapi murah pada saat istirahat siang © UNICEF Indonesia / 2017 / Cory Rogers